Selasa, 15 Januari 2013

Lewat Puisi, Aspar Paturusi Mengabarkan


OLEH: F. Daus AR
Redaktur Majalah Sastra Lentera

DUA buah buku kumpulan puisi Aspar Paturusi: Badik, Puisi Untukmu (Garis Warnah Indoneseia: 2011) dan Secangkir Harapan (Kosa Kata Kita: 2012) yang kesemuanya dibubuhi kata pengantar yang mendalam oleh Maman S. Mahayana menarik untuk dicermati . Ia menegaskan sebentuk jalan dan pilihan yang telah ditempuh oleh sang penyair. Usai membaca kata pengantar yang panjang dari kedua buku ini, Maman S. Mahayana hendak mendendangkan sebuah petak untuk menunjukkan kamar sastra seorang Aspar Paturusi. Mengingat, dosen Fakultas Ilmu Pendidikan Budaya Universitas Indonesia ini telah mengemukakan resonansi pembacaannya terhadap puisi yang kesemuanya dalam kedua antologi ini pernah disiarkan Aspar Paturusi di akun facebook pribadinya. Dikatakan kalau puisi Aspar Paturusi hendak mengatakan sesuatu langsung pada apa yang ingin dikatakan. Karena realitas itu sudah ada, sehingga tak perlu menulis ‘begini’ jika ingin mengatakan ‘begitu’ .
Peristiwa itu boleh jadi apa yang dialami oleh sang penyair secara langsung (pengalaman) maupun yang sedang ia dengar, amati, dan diikuti perkembangannya (resonansi). Kedua dasar inilah saya kira Aspar Paturusi menjejali proses lahirnya sebuah puisi. TUKANG KORAN pagi sekali kabar-kabar terbaring tukang koran terlatih melemparnya segera kupungut sarapan pagiku kulahap kabar seraya mereguk teh tukang koran tak selalu bawa kabar baik bahkan kini lebih banyak kabar buruk pembaca koran sudah tahu jenisnya dari presiden, koruptor, hakim diadili sampai anak menganiaya ibu sendiri kabar-kabar membuatku mabuk kadang membakar emosi menikam-nikam perasaan meluapkan amarah mengacaukan pikiran melumpuhkan harapan namun sehari saja tak ada kabar-kabar tukang koran tak muncul di depan rumah kok pagi terasa sepi Jakarta, 26 Oktober 2011. (Hal. 90) Mencerna puisi ini saya kira jangkauan asosiatif pikiran kita tak cukup pada sosok seorang tukang koran saja, tapi terhampar medan tafsir. Lewat puisi ini pulah, dua dasar proses kreatif Aspar Paturusi sudah muncul. Pengalaman dan resonansi (baca: analisis dan pendapat). Empat larik pada bait pertama menunjukkan pengalaman itu. Bait ketiga menjelaskan resonansi yang hinggap di benak. Melalui pemberitaan di koran, Aspar Paturusi menegaskan data yang menguat. Ia menggariskan tema besar yang selalu mendominasi headline media massa. Kabar buruk yang dimaksud secara larik mengeneralkan perilaku buruk tersebut. Kita tahu, kata ‘presiden’ tetap berdiri sendiri di himpitan kosa kata lainnya. Definisi itu tak buruk untuk menunjukkan sebuah jabatan politis. Lain hal dengan kata ‘koruptor’ yang juga berdiri sendiri di tengah kosa kata lainnya. Namun, definisi kata ini sudah jelas untuk menunjukkan bentuk perbuatan yang tercelah. Jajaki dengan sambungan lariknya ‘hakim diadili’ dan larik sesudahnya: ‘sampai anak menganiaya ibu sendiri’. Dari bait ini: tukang koran tak selalu bawa kabar baik / bahkan kini lebih banyak kabar buruk / pembaca koran sudah tahu jenisnya / dari presiden, koruptor, hakim diadili /sampai anak menganiaya ibu sendiri. Aspar Paturusi menyadari kalau pemberitaan di koran merupakan konsumsi komunal yang tentunyan memiliki rasa dan penilaian sendiri dari orang-orang yang membaca berita serupa. Ruang multitafsir itu tetap terjaga. Pembacaan yang runut pada bait ini bisa saja mengantarkan kita pada tafsir yang general perihal kabar buruk yang dimaksud. Diawali dengan sebuah frasa ‘pembaca koran sudah tahu jenisnya’ . Sesudahnya adalah medan tafsir bagi pembaca. Bahwa apakah kabar menyangkut presiden itu buruk atau tidak. Itulah kata kunci untuk menghancurkan gembok pikiran sidang pembaca untuk menetapkan asumsi. Tapi soal hakim yang diadili, separah itukah realitasnya, sehingga kata ‘hakim’ perlu diperjelas posisinya dalam bait ini dengan sebuah kata kerja yang lumrahnya adalah status hakim tersebut. Soal anomali ini, saya menduga kalau Aspar Paturusi mengajak kita untuk menyebutkan hakim-hakim yang dimaksud karena datanya terhampar luas di lembaran koran. Pertautan peristiwa dan gejolak kejiwaan membawa kita untuk mendalami kerja-kerja kreatif sang penyair. Boleh jadi Aspar Paturusi duduk manis di pagi hari sambil menikmati secangkir teh manis. Namun, kabar yang diperoleh adalah kegetiran yang memahitkan. Ia marah dengan warta itu sekaligus merasakan sepi jika tak menjumpai koran di pagi hari.

 Makassar, 19 September 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar