Selasa, 15 Januari 2013

Komunitas Sapi Berbunyi Berusia 11 Tahun; Totalitas “Tragedi Pakaian Dalam” dan “Katte”

OLEH: Badauni Andi Palinrungi


“Kita adalah pakaian dalam yang terbuang bila usai menunaikan tugas menjaga harga diri, kehormatan, dan menopang segala kehidupan orang lain. Kita siap dipermalukan sebagai lap kompor, lantai, dan segala hal yang kotor karena kita tak lagi terpakai. Segala jasa terlupakan. Dan, kita seperti celana dalam, kutang, dan pakaian dalam lainnya ..... Maka kita tolak Lady Gaga dan memuja Candoleng-doleng karena kita adalah kelas pakaian dalam ...”.

Esais, Asdar Muis RMS yang dikenal memiliki karakter suara yang kuat seakan tak henti berteriak, menyadarkan penonton tentang kegelisahaan dan kritiknya tentang nilai kemanusiaan yang terberangus modernitas dan konsumtif. Di pengujung nomor pertunjukan bertajuk “Tragedi Pakaian Dalam” itu, aktor terbaik Festival Teater se Sulsel tahun 1987 ini menari, berputar, berjingkrak hingga celana panjangnya melorot.


Analogi pakaian dalam menjadi inti seni pertunjukan yang digagas Komunitas Sapi Berbunyi yang memeringati hari jadi yang ke-11, di Warung PKK Mattampa, Bungoro, Pangkep, Selasa (25 September 2012). Ditonton hampir 400 orang yang terdiri atas pekerja seni dan sastra, pelajar SLTA dan guru SLTP serta SLTA, maupun penikmat seni pertunjukan, pergelaran yang dibuka resmi Wakil Bupati Pangkep Drs H Abdurrahman Assegaf, menyedot minat pengunjung yang hingga selesai belum ingin beranjak dari lokasi. Untuk memuaskan pengunjung yang masih tersisa puluhan orang, penari Muhammad Agung melakukan perfomance art seorang diri diiringi tim bunyi dan musik.

Totalitas  

Tidak biasanya Komunitas Sapi Berbunyi terpaku pada panggung. Sejak didirikan oleh Asdar Muis RMS, perkusionis nasional Basri B. Sila dan dosen musik UNM, Solihing, kelompok ini bermain di pelbagai tempat yang tidak terikat waktu dan ruang. Mengusung konsep “legislative theater” yang tak memiliki sekat antara pemain dan penonton, kelompok ini kerap ditemukan bermain di ruang publik maupun yang tidak terpikirkan sebelumnya. Setidaknya, di awal kemunculan “Sapi Berbunyi” bermain di halaman kantor, dalam bus Damri yang sedang melaju dengan rute Makassar-Parepare. Atau bermain di bagang tengah laut, dalam sumur, di tengah kebun kacang hijau, di atas sungai Malili, maupun di jalan poros Bandara Sultan Hasanuddin.
   
Pentas dalam rangkaian hari jadi, biasanya “Sapi Berbunyi” memusatkan di “Rumahku, Panggungku” yang menjadi markas utama komunitas ini. Namun, ultah ke-11, Asdar Muis RMS yang asli putra Pangkep, mengajak teman-temannya manggung di depan pelajar dan guru di kampungnya. “Saya ingin membagi pengalaman sekaligus secara tidak langsung memberi pengajaran tentang bagaimana pertunjukan improvisasi yang diikat oleh sebuah gagasan dan panduan, dinikmati tanpa merasa bosan dan terikat.”

Satu hal yang utama dalam setiap pertunjukan “Sapi Berbunyi” adalah totalitas pemain. Misalnya saja, Asdar tanpa peduli memelorotkan celana secara artistik sehingga tersisa kaus di tubuh dan celana dalam. Begitu pula kala meneriakkan esai “Katte” yang berarti “sunat bagi perempuan di tanah Bugis”, dengan liar Asdar menggunting jenggot, kumis, dan rambut seraya berujar lantang, “Para elite sangat terbiasa menggunting anggaran, menggunting rezeki orang, memotong-motong hak rakyat ...”.

Totalitas serupa diperlihatkan aktor monolog Simon Murad yang merupakan pemeran PatotoE pada “Pentas I La Galigo Keliling Dunia” yang disutradarai Robert Wilson (sutradara teater ternama di Amerika Serikat) saat memulai pertunjukan di luar arena pentas. Berbekal celana dalam menutup wajah, dia yang berusia hampir 70 tahun itu, menari dengan tubuh hanya berbalut tais (celana karet yang lembut). Hal serupa diperagakan para pembunyi yang hampir tak istirahat dari acara dimulai pukul 10.30 hingga berakhir 13.00 Wita.

Yang pasti, totalitas Asdar pada nomor “Tragedi Pakaian Dalam” dan “Katte” membuat penonton larut dan terkesima tanpa terganggu batas-batas normatif. “Kami menikmatinya penuh decak kagum karena para pemain sungguh memanggungkan diri mereka secara totalitas,” ujar H. Nurdin Abu, Kepala SMA Negeri 1 Bungoro, seraya menambahkan, “kehadiran Asdar bersama Sapi Berbunyi-nya membuka mata kami lebar-lebar untuk kembali bangkit menekuni dunia seni yang pernah jaya di daerah kami tahun 70-an.”
   
Pembelajaran

Seni pertunjukan yang mengaloborasi esai – perkusi, memulai nomor pentas lewat esai “Sapi”, kisah perjalanan istri Asdar ketika menyelamatkan diri dari kerusuhan Sampit yang meluas ke Palangkaraya, tempat kerjanya. Kemudian “Tragedi Pakaian Dalam” yang naskahnya belum ditulis, tapi hanya gagasan dan  langsung dipentaskan tanpa pernah latihan. Diiringi nomor-nomor pertunjukan tari, pentas seni rupa maupun melukis yang dilakukan seorang guru SMP Negeri 2 Pangkajene, Ahmad Anshari, dengan melahirkan dua karya, “Duka Bissu” dan “Ekspresi Sapi Berbunyi”.

Asdar yang suaranya kerap terdengar di radio Suara Celebes FM lewat “Kolom Udara”, meneriakkan kritik sosial dan humanis berjudul “Puang Matoa I La Galigo” (dari buku Tuhan Masih Pidato karya Asdar Muis RMS), “Katte” (Tuhan Masih Pidato), Berkarung Uang (Tuhan Masih Pidato) yang membuat banyak penonton terharu dan menitikkan air mata, serta “Haji Banci” (Sepatu Tuhan) yang berkisah tentang seorang waria yang sempat diprotes di Pangkep kala akan menunaikan ibadah haji. Hampir di pengujung, guru dari MAN Marang, Ibrahim Ohara Adaus, membaca sajak dan mengajak siswa-siswanya menyajikan pertunjukan sajak dan teater.

Menurut Asdar Muis, “Kami sangat senang melakukan pertunjukan di depan siswa dan guru yang sekaligus melibatkan guru dan siswa untuk ikut pertunjukan di arena Sapi Berbunyi yang memang selalu terbuka untuk kolaborasi. Makanya, kami senang ketika ada perempuan guru yang ikut bermain sejak awal hingga usai.” Ditambahkan, “Pergelaran ini merupakan upaya pembelajaran dari para seniman yang di antaranya biasa mentas di luar negeri. Intinya, kami datang untuk membagi ilmu sekaligus mengintip potensi di daerah karena kita saling belajar.”

Komunitas Sapi Berbunyi berusia 11 tahun. Usia yang terbilang masih kanak, tapi karyanya sudah terbilang mapan. Dan, masyarakat Pangkep masih menantikan kehadiran kelompok ini. Kapan? Mereka tetap menunggu karena kami tak ingin menjadi pakaian dalam bekas – tegas budayawan Pangkep, Farid W. Makkulau. *


SUmber: fajar.co.id 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar