OLEH: Badauni Andi Palinrungi
“Kita adalah pakaian dalam yang terbuang bila
usai menunaikan tugas menjaga harga diri, kehormatan, dan menopang
segala kehidupan orang lain. Kita siap dipermalukan sebagai lap kompor,
lantai, dan segala hal yang kotor karena kita tak lagi terpakai. Segala
jasa terlupakan. Dan, kita seperti celana dalam, kutang, dan pakaian
dalam lainnya ..... Maka kita tolak Lady Gaga dan memuja
Candoleng-doleng karena kita adalah kelas pakaian dalam ...”.
Esais, Asdar Muis RMS yang dikenal memiliki karakter suara yang kuat
seakan tak henti berteriak, menyadarkan penonton tentang kegelisahaan
dan kritiknya tentang nilai kemanusiaan yang terberangus modernitas dan
konsumtif. Di pengujung nomor pertunjukan bertajuk “Tragedi Pakaian
Dalam” itu, aktor terbaik Festival Teater se Sulsel tahun 1987 ini
menari, berputar, berjingkrak hingga celana panjangnya melorot.
Analogi pakaian dalam menjadi inti seni pertunjukan yang digagas
Komunitas Sapi Berbunyi yang memeringati hari jadi yang ke-11, di Warung
PKK Mattampa, Bungoro, Pangkep, Selasa (25 September 2012). Ditonton
hampir 400 orang yang terdiri atas pekerja seni dan sastra, pelajar SLTA
dan guru SLTP serta SLTA, maupun penikmat seni pertunjukan, pergelaran
yang dibuka resmi Wakil Bupati Pangkep Drs H Abdurrahman Assegaf,
menyedot minat pengunjung yang hingga selesai belum ingin beranjak dari
lokasi. Untuk memuaskan pengunjung yang masih tersisa puluhan orang,
penari Muhammad Agung melakukan perfomance art seorang diri diiringi tim
bunyi dan musik.
Totalitas
Tidak biasanya Komunitas Sapi Berbunyi terpaku pada panggung. Sejak
didirikan oleh Asdar Muis RMS, perkusionis nasional Basri B. Sila dan
dosen musik UNM, Solihing, kelompok ini bermain di pelbagai tempat yang
tidak terikat waktu dan ruang. Mengusung konsep “legislative theater”
yang tak memiliki sekat antara pemain dan penonton, kelompok ini kerap
ditemukan bermain di ruang publik maupun yang tidak terpikirkan
sebelumnya. Setidaknya, di awal kemunculan “Sapi Berbunyi” bermain di
halaman kantor, dalam bus Damri yang sedang melaju dengan rute
Makassar-Parepare. Atau bermain di bagang tengah laut, dalam sumur, di
tengah kebun kacang hijau, di atas sungai Malili, maupun di jalan poros
Bandara Sultan Hasanuddin.
Pentas dalam rangkaian hari jadi, biasanya “Sapi Berbunyi” memusatkan di
“Rumahku, Panggungku” yang menjadi markas utama komunitas ini. Namun,
ultah ke-11, Asdar Muis RMS yang asli putra Pangkep, mengajak
teman-temannya manggung di depan pelajar dan guru di kampungnya. “Saya
ingin membagi pengalaman sekaligus secara tidak langsung memberi
pengajaran tentang bagaimana pertunjukan improvisasi yang diikat oleh
sebuah gagasan dan panduan, dinikmati tanpa merasa bosan dan terikat.”
Satu hal yang utama dalam setiap pertunjukan “Sapi Berbunyi” adalah
totalitas pemain. Misalnya saja, Asdar tanpa peduli memelorotkan celana
secara artistik sehingga tersisa kaus di tubuh dan celana dalam. Begitu
pula kala meneriakkan esai “Katte” yang berarti “sunat bagi perempuan di
tanah Bugis”, dengan liar Asdar menggunting jenggot, kumis, dan rambut
seraya berujar lantang, “Para elite sangat terbiasa menggunting
anggaran, menggunting rezeki orang, memotong-motong hak rakyat ...”.
Totalitas serupa diperlihatkan aktor monolog Simon Murad yang merupakan
pemeran PatotoE pada “Pentas I La Galigo Keliling Dunia” yang
disutradarai Robert Wilson (sutradara teater ternama di Amerika Serikat)
saat memulai pertunjukan di luar arena pentas. Berbekal celana dalam
menutup wajah, dia yang berusia hampir 70 tahun itu, menari dengan tubuh
hanya berbalut tais (celana karet yang lembut). Hal serupa diperagakan
para pembunyi yang hampir tak istirahat dari acara dimulai pukul 10.30
hingga berakhir 13.00 Wita.
Yang pasti, totalitas Asdar pada nomor “Tragedi Pakaian Dalam” dan
“Katte” membuat penonton larut dan terkesima tanpa terganggu batas-batas
normatif. “Kami menikmatinya penuh decak kagum karena para pemain
sungguh memanggungkan diri mereka secara totalitas,” ujar H. Nurdin Abu,
Kepala SMA Negeri 1 Bungoro, seraya menambahkan, “kehadiran Asdar
bersama Sapi Berbunyi-nya membuka mata kami lebar-lebar untuk kembali
bangkit menekuni dunia seni yang pernah jaya di daerah kami tahun
70-an.”
Pembelajaran
Seni pertunjukan yang mengaloborasi esai – perkusi, memulai nomor pentas
lewat esai “Sapi”, kisah perjalanan istri Asdar ketika menyelamatkan
diri dari kerusuhan Sampit yang meluas ke Palangkaraya, tempat kerjanya.
Kemudian “Tragedi Pakaian Dalam” yang naskahnya belum ditulis, tapi
hanya gagasan dan langsung dipentaskan tanpa pernah latihan. Diiringi
nomor-nomor pertunjukan tari, pentas seni rupa maupun melukis yang
dilakukan seorang guru SMP Negeri 2 Pangkajene, Ahmad Anshari, dengan
melahirkan dua karya, “Duka Bissu” dan “Ekspresi Sapi Berbunyi”.
Asdar yang suaranya kerap terdengar di radio Suara Celebes FM lewat
“Kolom Udara”, meneriakkan kritik sosial dan humanis berjudul “Puang
Matoa I La Galigo” (dari buku Tuhan Masih Pidato karya Asdar Muis RMS),
“Katte” (Tuhan Masih Pidato), Berkarung Uang (Tuhan Masih Pidato) yang
membuat banyak penonton terharu dan menitikkan air mata, serta “Haji
Banci” (Sepatu Tuhan) yang berkisah tentang seorang waria yang sempat
diprotes di Pangkep kala akan menunaikan ibadah haji. Hampir di
pengujung, guru dari MAN Marang, Ibrahim Ohara Adaus, membaca sajak dan
mengajak siswa-siswanya menyajikan pertunjukan sajak dan teater.
Menurut Asdar Muis, “Kami sangat senang melakukan pertunjukan di depan
siswa dan guru yang sekaligus melibatkan guru dan siswa untuk ikut
pertunjukan di arena Sapi Berbunyi yang memang selalu terbuka untuk
kolaborasi. Makanya, kami senang ketika ada perempuan guru yang ikut
bermain sejak awal hingga usai.” Ditambahkan, “Pergelaran ini merupakan
upaya pembelajaran dari para seniman yang di antaranya biasa mentas di
luar negeri. Intinya, kami datang untuk membagi ilmu sekaligus mengintip
potensi di daerah karena kita saling belajar.”
Komunitas Sapi Berbunyi berusia 11 tahun. Usia yang terbilang masih
kanak, tapi karyanya sudah terbilang mapan. Dan, masyarakat Pangkep
masih menantikan kehadiran kelompok ini. Kapan? Mereka tetap menunggu
karena kami tak ingin menjadi pakaian dalam bekas – tegas budayawan
Pangkep, Farid W. Makkulau. *
SUmber: fajar.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar