Selasa, 15 Januari 2013

Mappatabek dan Patuatuai

OLEH : Nurhikmah
(Alumni Sekolah Demokrasi Pangkep, Aktivis PMII, dan Kuliah di STAI DDI Pangkep)


BEBERAPA waktu lalu, di Badan Diklat Provinsi Sulsel, seorang narasumber, Dr. Abdul Latief membahas Sejarah Kepemimpinan Demokratis Sulawesi Selatan. Materi itu cukup menarik bagi peserta Sekolah Demokrasi Pangkep yang menjadi audiens saat itu. Terutama ketika pembicara yang notabene dosen Unhas ini membahas tentang budaya-budaya lokal yang seharusnya menjadi penguat karakter bangsa, seperti “mappatabek.”
Pemicaraan soal budaya yang menurut Abdul Latief sudah makin punah itu, menginspirasi penulis untuk turut mencermatinya. Bicara soal budaya “mappatabek,” sesungguhnya tidak sekadar perilaku kesantunan berjalan di depan umum. Suatu cara berjalan pelan sambil menghormati orang-orang sekitar dengan cara sedikit membungkukkan badan atau menurunkan lengan. Lebih dari itu, “mappatabek” memiliki makna yang lebih luas lagi. Ia harus lahir dari keterbukaan hati. Lahir dari karsa. Oleh karena itu, disebutlah ia budaya. Karena “mappatabek” adalah budaya, maka “pewarisannya” bukan keturunan atau gen. Ia diwarisi melalui proses belajar. Mirip-mirip ketika orang belajar tari-tarian, seperti Pakarena. Sepintas, “mappatabek” memang kelihatan sebuah pewarisan nilai yang sekadar “peniruan.” Anak-anak meniru orang tuanya. Baik secara verbal “tabek” maupun dalam perbuatannya. Itu kalau penglihatan sepintas. Namun, sesungguhnya, dalam peniruan itu, terdapat proses belajar secara tidak langsung. Ketika proses itu berlangsung setiap hari, maka ikutannya adalah pelekatan nilai-nilai dari “mappatabek” tersebut. Dari proses penularan di ruang-ruang domestik lingkungan keluarga itu, “mappatabek” kemudian memasuki wilayah publik. Di sinilah sering mengalami bias. “Mappatabek” kadang-kadang disalahgunakan. Lahirlah kata-kata yang justru “antitabek”, seperti, “Tabek, Bos, saya tidak beritahu-ki karena tidak ada juga gunanya…” Kalimat seperti ini boleh jadi sesuai dengan apa yang disebut Abdul Latief sebagai perilaku “patuatuai” (memandang enteng atau meremehkan). Dalam konteks demokrasi kini, amalan-amalan budaya “mappatabek” sesungguhnya bisa dilakukan secara profesional. Misalnya, dalam proses pergantian pemimpin di sebuah daerah atau lembaga-lembaga sosial lainnya. Namun, budaya itu dikesampingkan. Ia bahkan termarginalkan oleh kepentingan-kepentingan pragmatik dan tujuan-tujuan politis yang mengarah pada kegilaan kekuasaan. Tentu kita berharap kondisi seperti ini tidak tertular ke generasi penerus bangsa yang bermartabat . Kita berharap budaya “mappatabek” itu tidak luntur begitu saja. Kita tidak boleh membiarkan sebuah generasi terjerumus ke dalam antitatanan sosial seperti itu. Kita masih punya harapan terhadap lembaga-lembaga pendidikan. Apalagi ketika kita menyadari bahwa “mappatabek” adalah sebuah budaya, maka idealnya sudah masuk dalam pelajaran etika di bangku-bangku sekolah. Bukan saja pada sekolah khusus yang menerapkan kurikulum pembentukan karakter. Makna “mappatabek” sudah mesti diperdalam melalui kajian-kajian filosofis. Baik pendekatan akademik, maupun di lembaga-lembaga sosial lainnya. Tentu saja kita tidak menafikan peran domestik lingkungan keluarga untuk pewarisan nilai-nilanya. Di perguruan tinggi misalnya, ada mata kuliah Filsafat Ilmu yang notabene menyertakan Filsafat Etika. Di sinilah peluang “mappatabek” itu dibicarakan dalam konteks ilmu pengetahuan. Orientasinya berujung pada pengamalan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Semoga. ($)

 Penulis beralamat di Bungoro, Jl. Poros Tonasa II, Alumni SMK Neg. 1 Bungoro Pangkep Ang.2010. Kritik dan saran dapat dihubungi 081354940679 atau email: nurhikmahhiksaf@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar