Hubungan
Negara, Agama dan Budaya selalu menarik dibincangkan, terlebih lagi perilaku
Negara terhadap pemeluk agama dan penganut budaya yang cenderung bias dari
kekuasaan dan kepentingan kelompok tertentu. Keadaan ini tentu saja memberikan
pemaknaan tersendiri di masyarakat, tidak sedikit masyarakat menganggap bahwa negara
telah gagal mengayomi pemeluk agama dan penganut budaya. Agama dan budaya tidak
ditempatkan pada posisinya yang suci dan terlepas dari segala kepentingan dan
kekuasaan.
Sejak
Indonesia merdeka, rakyat Indonesia sejatinya telah mengakui adanya perbedaan
yang sudah lama menjelma menjadi sebuah hubungan yang harmonis dan menciptakan
kekuatan sendiri bagi kemerdekaan Indonesia dan upaya mempertahankannya. Namun
akhir-akhir ini hubungan tersebut kembali dipersoalkan. Mengingat fungsi Negara
yang selayaknya melindungi ummat beragama dan para actor budaya, justru tidak
memberikan ruang bagi tumbuh dan berkembangnya suatu kemestian dari proses kehidupan
di muka bumi yang bernama kayakinan (agama dan budaya).
Dari
sejak duduk di bangku SD kita sudah diajarkan tentang banyaknya perbedaan di
negeri ini. Diawali dengan Enam agama resmi yang sudah lama diakui. Kemudian
sejak kecil kita juga sudah mengalami langsung arti sebuah perbedaan, walaupun
dalam ruang lingkup yang sederhana, yaitu keluarga. Tak jarang muncul ketidak
sepahaman antara anak dan orang tua, antar saudara sendiri, bahkan antara Bapak
dan Ibu kita.
Seringkali pula, pemeluk agama tertentu memaksakan kehendaknya terhadap yang lain hanya karena tidak menganggap yang lain sebagai sebuah kebenaran. Oleh sebagian orang kebenaran agama dijadikan legitimasi untuk tidak hanya sebatas menyatakan yang lain sebagai yang tidak benar, namun terimplementasi dalam sikap dan praktek beringas oleh sebagian ummat beragama yang mengatasnamakan agama tertentu, lalu membakar, merusak dan melakukan perilaku anarkis lainnya.
Seringkali pula, pemeluk agama tertentu memaksakan kehendaknya terhadap yang lain hanya karena tidak menganggap yang lain sebagai sebuah kebenaran. Oleh sebagian orang kebenaran agama dijadikan legitimasi untuk tidak hanya sebatas menyatakan yang lain sebagai yang tidak benar, namun terimplementasi dalam sikap dan praktek beringas oleh sebagian ummat beragama yang mengatasnamakan agama tertentu, lalu membakar, merusak dan melakukan perilaku anarkis lainnya.
Mustari
Mustafa, coordinator Forlog Makassar, saat menjadi narasumber Diskusi Demokrasi
Tematik di Pangkep beberapa waktu yang lalu mengatakan, kemerdekaan bangsa
indonesia juga dibangun di atas nilai-nilai penghargaan terhadap perbedaan,
justru akhir-akhir ini kita lupa akan jati diri kita sebagai masyarakat yang
majemuk. Diskusi demokrasi tematik yang diselenggarakan sebagai rangkaian
kegiatan sekolah demokrasi Pangkep angkatan kedua tersebut mengangkat tema Membincang
Relasi Negara, Agama dan Budaya di Kab. Pangkep.
Diskusi
yang berlangsung sekitar Dua jam tersebut juga dihadiri oleh beberapa aktifis
agama Islam di Pangkep, dan juga beberapa perwakilan dari akademisi dan
pemerintah dalam hal ini Depag. Stake holder lain adalah beberapa aktifis
pemuda KPPSI beserta ketua KPPSI Pangkep, Hasanuddin G Kuna, Direktur STAI DDI
Pangkep dan beberapa aktifis PMII dan LSM.
Dalam
kesempatan tersebut Mustari menyampaikan kekhawatirannya, bahwa tidak jarang
Negara menggunakan kekuatannya dengan sangat jauh, mencampuri urusan agama dan
budaya sampai pada urusan privat seseorang, yaitu urusan yang menyangkut antara
hamba dan Tuhannya. Sedangkan tugas utama untuk memberi rasa aman pada penganut
agama dan budaya untuk menjalankan keyakinannya dengan rasa aman dan
terlindungi, justru sering kali terabaikan.
Memang
benar sudah ada aturan terkait dengan kebebasan untuk menjalankan agama dan
keyakinan masing-masing pemeluk agama. Namun, sebagian orang yang beraliran
fatalizem, yang menganggap yang berbeda adalah salah, dan terkadang melakukan
tindakan-tindakan represif, dalam hal seperti ini kadang Negara absen untuk
turut serta memberi rasa aman.
Di
Pangkep sendiri perkembangan agama dan budaya sarat akan masalah. Bahkan sejak
beberapa tahun yang lalu Pangkep sudah memiliki perda syariah Islam. Walaupun
dalam perkembangannya perda tersebut seperti tenggelam di telan zaman.
Dalam
kesempatan berkunjung ke lokasi yang dijadikan daerah percontohan syariah Islam
di Pangkep, penulis pernah mewawancarai beberapa warga yang kebetulan penulis
temui. Hasilnya pun sangat mengherankan, dalam hal berjilbab misalnya, memang
benar mereka berjilbab, namun mereka melakukan itu disatu sisi setelah ada
seruan dari pemerintah setempat. Biasanya dalam bentuk surat edaran, ungkap
beberapa warga di Pulau Salemo dan Desa Tombobulu Pangkep.
Begitupula
saat konsolidasi dengan peserta sekolah demokrasi Pangkep angkatan kedua
beberapa minggu yang lalu, saat salah seorang peserta Aco, meminta untuk
difasilitasi berdialog dengan pihak kepolisian untuk meminta ketegasan terhadap
penerapan perda Miras, yang didalamnya juga diatur terkait pornoaksi. Mengingat
semakin maraknya “ca’doleng-doleng” dan praktek “esek-esek” di Pangkep,
tegasnya. Namun, dalam kesempatan tersebut persoalannya sedikit terjawab, walaupun
sudah banyak aturan terkait dengan pornoaksi dan pornografi, bahkan perda
syariah Islam sekalipun di Pangkep, sangat sulit untuk menghalangi
praktek-praktek tersebut, karena masyarakat sendiri yang menginginkan. Ditambah
lagi ketidak tegasan aparat kepolisian dalam menindak segala pelanggar.
“bagaimana mau hilang, polisinya ada dibarisan terdepan” ungkap beberapa
peserta yang lain.
Belum
lagi yang masih hangat di Pangkep terkait dengan rumah ibadah yang juga rumah tinggal
yang kemudian mendapat protes dari beberapa ormas Islam di Pangkep. Mereka
menolak rumah ibadah tersebut karena dianggap menyalahi aturan. Ironisnya
protes tersebut dilakukan setelah di Pangkep sudah berdiri rumah ibadah bukan
hanya Masjid namun juga gereja, sehingga terkesan protes tersebut lebih pada
nuansa politis. Ironisnya lagi Depag Kab. Pangkep, hanya memiliki satu divisi
urusan agama, yaitu agama Islam, sedangkan Pangkep tidak hanya dihuni oleh
penduduk agama Islam, namun juga agama lain. Praktek-praktek intoleransi sangat
marak di Pangkep. Korbannya bukan hanya agama non Islam, namun juga budaya yang
dianut masyarakat lokal seperti halnya Bissu, seringkali mendapat perlawanan
dan protes dari beberapa stake holder di Pangkep.
Komunitas
Bissu, adalah komunitas adat yang sejak zaman kerajaan menetap di Pangkep. Hingga
hari ini komunitas Bissu masih mempertahankan adat budaya masyarakat bugis.
Sejak komunitas tersebut pindah dari Bone dan menetap di Pangkep, perlakuan
pemerintah dan masyarakat terhadap merekapun terkesan tidak demokratis. Perlakuan
warga dan stigma kurang sedap dari warga terkait eksistensi mereka juga kerap
kali menampar wajah penerapan demokratisasi lokal di Pangkep.
Ironisnya
lagi, komunitas Bissu yang semestinya diletakkan sebagai To Panrita, justru
kini hanya dihadirkan saat perayaan-perayaan tertentu saja. Petuah-petuahnya
mengenai kehidupan tidak lagi dilaksanakan oleh Towarani sebagai pejabat negara
(bila dulu adalah raja) untuk menjadi acuan menjalankan pemerintahannya. Lebih
miris lagi, saat mereka menjadi objek represi negara dan golongan lain yang
masih menganggap komunitas adat sebagai Bissu sebagai komunitas yang menyimpang,
sesat dan murtad.
Di akhir tulisan ini
saya ingin mengetengahkan sebuah pernyataan Sonni A. Keraf sebagai merefleksi
kehidupan Gusdur yang diterbitkan Kompas, 9 Januari 2010. “Pemaksaan terhadap
cara hidup yang berbeda dari yang dianutnya adalah sebuah pelanggaran atas
harkat dan martabat manusia yang unik, dan sekaligus juga pengingkaran atas
identitas dan jati diri setiap orang sebagai pribadi yang unik. Demikian pula
sebaliknya, penghambatan terhadap orang lain dalam melaksanakan identitas
agama, budaya, jenis kelamin, dan aliran politiknya yang berbeda sejauh tidak
mengganggu tertib bersama adalah juga sebuah pelanggaran atas harkat dan
martabat manusia yang unik.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar