Eksploitasi
sumber daya alam di Pangkep sebetulnya menjadi objek vital pemasukan daerah
(PAD). Namun pengelolaannya yang tidak transparan dan tidak terkonsolidasi
dengan baik, menyebabkan pemasukan dengan kerusakan yang ada tidak berimbang,
dan masyarakat hanya menerima sisa-sisa pencemaran dan kerusakan.
Tercatat
dari .. Trilyun, ... persennya bersumber dari pajak perusahaan tambang. Data
ini belum data selayknya, seandainya pajak tersebut terealisasi sebagaimana
mestinya maka pemasukan terhadap PAD dari sektor pertambangan sebesar ...
persen.
Saat
penulis mengkonfirmasi kepada Sekretaris Komisi II DPRD Kab. Pangkep, Anggreani
Amir, Beliau mengatakan sangat tidak berimbang antara kerusakan dengan
pemasukan yang ada. Bahkan seringkali kewajiban perusahaan tidak terealisasi.
Belum lagi anggaran yang dikeluarkan oleh Pemda terkait dengan fasilitas untuk
sektor pertambangan, seperti perbaikan jalan yang dilewati mobil operasional
tambang yang cukup banyak. Sayang, menurut Anggi (sapaan akrab Anggreani Amir)
tidak menyebutkan secara detil berapa yang harus didapatkan daerah dari sektor
pertambangan.
Tak terkonsolidasinya pengelolaan tambang di Pangkep semakin terlihat dari observasi yang dilakukan oleh Komite Komunitas Demokrasi Pangkep (KKDP) beberapa waktu lalu. Masyarakat hanya bisa menghela nafas ketika pengusaha dengan leluasa menguasai tanah mereka. Lokasi tambang yang tidak lagi sesuai dengan perjanjian awal tidak menjadi soal, perusahaan tetap menambang dan masyarakat hanya bisa meninggalkan tempat tersebut karena sudah tidak layak huni. Ironisnya, saat KKDP mengkonfirmasikan ke pihak pertambangan Pangkep, mereka tidak tau menau perihal tersebut. Sejak saat itu pula bersama-sama Dinas Pertambangan KKDP diminta untuk selalu turun lapangan dan memantau aktifitas pertambangan di Pangkep. Sampai saat ini tidak ada tindakan tegas yang di ambil Pemda terkait masukan teman-teman tersebut.
Tak terkonsolidasinya pengelolaan tambang di Pangkep semakin terlihat dari observasi yang dilakukan oleh Komite Komunitas Demokrasi Pangkep (KKDP) beberapa waktu lalu. Masyarakat hanya bisa menghela nafas ketika pengusaha dengan leluasa menguasai tanah mereka. Lokasi tambang yang tidak lagi sesuai dengan perjanjian awal tidak menjadi soal, perusahaan tetap menambang dan masyarakat hanya bisa meninggalkan tempat tersebut karena sudah tidak layak huni. Ironisnya, saat KKDP mengkonfirmasikan ke pihak pertambangan Pangkep, mereka tidak tau menau perihal tersebut. Sejak saat itu pula bersama-sama Dinas Pertambangan KKDP diminta untuk selalu turun lapangan dan memantau aktifitas pertambangan di Pangkep. Sampai saat ini tidak ada tindakan tegas yang di ambil Pemda terkait masukan teman-teman tersebut.
Masih
segar dalam ingatan masyarakat Pangkep tentang bencana yang menimpa saudara
mereka di Balocci. Air dari atas gunung menghantam pemukiman warga di Salo
Metie dan menyebabkan empat orang meninggal dunia. Tak ada pemantauan mendalam
terkait hal ini, baik dari masyarakat maupun Pemda. Sehingga musibah itu
berlalu begitu saja. Seolah-olah semua orang hendak dipaksa menerimanya dengan
“legowo”, bahwa bencana banjir bandang tersebut tak lain adalah murni bencana,
tanpa ada koneksitasnya dengan aktifitas pertambangan atau kerusakan alam di
Pangkep. Saat penulis bersua dengan Kepala Dinas Kehutanan Pangkep beberapa
waktu lalu, Dia mengatakan, bahwa banyak hutan yang telah menjadi sawah di atas
gunung, tanpa menegaskan bahwa itulah penyebabnya, seolah-olah Pemerintah hendak
mengatakan “salah rakyat sendiri”.
Perusahaan
Tonasa belum lama ini mengkonsolidasikan pengelolaan CSR dengan masyarakat ring
satu dan dua. Mereka (Tonasa) mencoba menjabarkan mekanisme pengelolaan CSR
berikut besarannya. Setiap desa dan kelurahan ring satu dan dua yang rawan
pencemaran di ambil lima orang yang kemudian turut serta dalam sosialisasi
tersebut. Boleh dikata, hal ini adalah perkembangan bagi masyarakat Pangkep.
Karena Tonasa, perusahaan dengan keuntungan Trilyun-nan di Pangkep tersebut, sudah
mulai transparan dalam pengelolaan CSR. Bisa jadi juga bukan, karena bukan
realisasinya yang masyarakat ketahui, seringkali hanya pengetahuan tentang
besaran jumlah CSR yang dialokasikan Tonasa, 7 M, 14 M, dst.
Seringkali
juga dalam realisasinya CSR justru tidak tepat sasaran. Beberapa waktu
terakhir, tempat sampah dari plastik besar yang biasanya dipake untuk menyimpan
air oleh masyarakat, banyak ditemukan di sudut-sudut kota Pangkep bahkan juga
di Kantor-kantor pemerintahan dan tempat perbelanjaan, yang ditempeli kertas bertuliskan
CSR Tonasa 2011. Tidak ada informasi baik dari pihak perusahaan maupun Pemda
terkait berapa besar alokasi dana yang telah dikucurkan untuk pengadaan tempat
sampah plastik tersebut. Yg masyarakat tau seringkali hanya tempat sampah yang
sudah beredar dan bertuliskan CSR.
Tak
terkonsolidasinya pengelolaan tambang semakin terlihat karena tidak jelasnya
tugas dan fungsi beberapa SKPD di Pangkep, khususnya terkait dengan PSDA
(Pengelolaan Sumber Daya Alam). Badan Lingkungan Hidup yang baru dibentuk
sekitar tahun 2008 kemarin, sejauh ini hanya bertugas mengkaji hasil pencemaran
dan juga lokasi yang hendak di eksploitasi oleh pengusaha yang mendaftar,
berikut evaluasi dari aturan main yang telah disepakati. Sedangkan Dinas
Pertambangan yang sudah lama berada di nauangan Pemda Pangkep, bertugas
memberikan izin dan mengawasi kinerja perusahaan di lapangan.
Saat
tambang hendak dibuka, bukan hanya dua Badan dan Dinas di atas saja yang
bertugas. Namun ada Dinas kehutanan yang mengkaji apakah usaha tambang yang
hendak dibuka masuk dalam kawasan hutan lindung, hutan produksi, hutan
konservasi, atau bahkan taman nasional. Dinas PU Perairan juga turut andil,
dinas ini mengkaji kandungan air dan pencemarannya terhadap air di sekitar
tambang nantinya. Dan beberapa dinas yang lain, yang oleh masyarakat dikenal
sebagai tim sembilan (9). Kenapa disebut tim sembilan, karena jumlah dinas dan
badan yang turun ke lokasi saat tambang hendak di buka berjumlah sembilan,
dengan tugas yang masing-masing berbeda. Menurut Kepala Desa Taraweang, Abd.
Majid, seringkali hal tersebut hanya slogan, karena saat di lapangan beberapa
dinas di atas, tidak semuanya turun.
Untuk
Tonasa, Badan Lingkungan Hidup bertugas mengkaji AMDAL (Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan). Setiap saat Amdal dapat di evaluasi untuk melihat
pencemaran yang mungkin saja terjadi. Persoalannya, setelah ada indikasi
pencemaran dan rawan terhadap kesehatan masyarakat, lalu apa yang terjadi?
Tidak ada. Tonasa tetap beroperasi dan pencemaran tetap berlangsung. Ancaman
sanksi dan teguran, selesai di tingkat lobi. Terbukti sekitar tahun 2008, Badan
Lingkungan hidup pernah mengukur kadar debu yang keluar dari cerobong Tonasa.
Bahkan Badan Lingkungan Hidup menyatakan bahwa debu yang keluar sudah melebihi
batas yang dibolehkan. Namun apa yang dikatakan pihak Tonasa, bahwa alat
penyaring debu saat itu dalam keadaan rusak. Ironisnya Badan Lingkungan Hidup
hanya bisa meminta pihak perusahaan untuk memperbaiki alat tersebut tanpa ada
tindakan berarti (Hasil wawancara dengan Badan Lingkungan Hidup).
Untuk
perusahaan lain yang ada di Pangkep Badan Lingkungan Hidup hanya mengkaji
aturan main yang telah disepakati bersama antara pihak perusahaan dan Badan
Lingkungan Hidup, mengingat hanya Tonasa, perusahaan tambang di Pangkep yang
memiliki Amdal. Aturan main tersebut setiap saat juga dapat di evaluasi. Namun,
apa yang terjadi setelah ada indikasi perusahaan melakukan kecurangan, misalnya
dengan mengekspor langsung hasil tambang melebihi 30%, sebagaimana penuturan
salah seorang warga Pangkep yang pernah bekerja di salah satu perusahaan
tambang di Pangkep (tidak disebutkan namanya). Banyak hasil tambang yang keluar
dari Pangkep sebetulnya melebihi dari apa yang dilaporkannya kepada pemerintah
daerah, khususnya yang membidangi pertambangan, ungkapnya. Dengan kata lain,
laporan kepada pihak berwenang terkait besaran hasil produksi yang untuk di
ekspor tidak sama persis dengan yang sebenarnya (fiktif).
Atau
bagaimana bila perusahaan tidak menyetor pajak yang sebesar 25% dari hasil
bersih perusahaan dari penjualan barang tambang yang dilakukannya, sebagaimana
di atur dalam perda? Tidak ada. Ancaman pencabutan izin operasi perusahaan
tambang sejauh ini belum pernah terjadi di Pangkep.
Lalu,
bagaimana korelasinya dengan aturan-aturan (Perda) yang telah ada di Pangkep
terkait dengan pertambangan dan pengelolaan sumber daya alam? Dinas
pertambangan misalnya, dalam setiap kesempatan mengungkapkan, bahwa di satu
sisi perusahaan-perusahaan tersebut memberikan banyak manfaat bagi masyarakat
Pangkep dengan menyerap banyak tenaga kerja. Disisi lain mereka juga mengakui
banyak efek negatif, termasuk kerusakan alam dan pencemaran, bahkan bencana akibat
pencemaran kapan-kapan bisa terjadi. Sejauh ini Dinas pertambangan mengaku
selalu berusaha untuk menekan perusahaan agar melakukan perbaikan dari lahan
yang telah ditambang. Dinas Pertambangan juga mengaku selalu mengevaluasi
laporan yang masuk dari setiap perusahaan yang beroperasi di Pangkep. Tidak
adanya aturan yang tegas, yang mengatur setiap pelanggaran dan perbaikan dari
kerusakan yang ada, menjadikan perusahaan-perusahaan tambang di Pangkep
“kegirangan”. Disatu sisi pengambil kebijakan juga kurang tegas terhadap setiap
pelanggaran yang nyata di depan mereka.
Sejauh
ini di Pangkep belum pernah ada putusan peradilan terkait masalah pertambangan.
Atau mengangkat soal kecurangan dan kesalahan yang dilakukan perusahaan tambang
terhadap masyarakat yang berdomisili disekitar lokasi tambang. Istilah
“lengkaplah sudah penderitaan”, sepertinya tepat untuk menggambarkan kondisi
masyarakat Pangkep hari ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar